Abdulloh telah membina biduk rumah tangganya selama puluhan tahun, layaknya keluarga yang lain, keluarga inipun berjalan tanpa ada aral yang berarti, hingga sampai suatu saat tiba-tiba keluarga ini terhempas badai yang berujung pada pengajuan gugatan cerai oleh pihak istri kepengadilan agama setempat. Pembaca yang budiman kasus semacam ini mungkin sering kita jumpai, untuk itu pada tema kali ini sengaja kami angkat persoalan khulu’ ( gugatan cerai dari pihak istri ) agar supaya menjadi rambu bagi suami maupun istri dalam persoalan rumah tangga yang dihadapi.
PENGERTIAN KHULU’
Secara bahasa “ khola’a” maknanya adalah melepas,
mencabut atau menanggalkan, sedangkan secara istilah “ khulu’ “ bermakna,
perceraian atas permintaan istri dengan
pemberian ganti rugi ( tebusan ) dari pihak istri, madzhab Hanafi
mengistilahkan “khulu’ “ sebagai bentuk pengguguran hak pernikahan dengan
lafadz khulu’, sedangkan madzhab Maliki menyatakan bahwa “ khulu” merupakan
bentuk perceraian deengan pengembalian, baik dari pihak istri sendiri atau dari
walinya, pendapat ini senada dengan madzhab Hambali, sedangkan menurut madzhab
Syafi’I “ khulu’ “ merupakan bentuk pemisahan jalinan pernikahan dengan ganti
rugi baik dengan lafadz cerai maupun khulu’. [1]
DALIL DISYARI’ATKAN KHULU’
“ kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.” ( Qs. Al-Baqoroh 229.)
عن ابن عباس: أن امرأة ثابت
بن قيس أتت النبي صلى الله عليه و سلم فقالت يا رسول الله ثابت بن قيس ما أعتب
عليه في خلق ولا دين ولكني أكره الكفر في الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه و
سلم ( أتردين عليه حديقته ) . قالت نعم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( اقبل
الحديقة وطلقها تطليقة )
Dari Ibnu Abbas r.a : “
adalah istri Tsabit bin Qois mendatangi Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam dan
berkata : “ wahai rasululloh bagiku Tsabit bin Qois tidak ada cela dalam akhlak
dan agamanya tetapi aku takut menjadi kufur dalam Islam “, maka rosululloh
bersabda : “ apa kamu bersedia mengembalikan kebunya “ maka Istri Tsabit bin
Qois menjawab “ ya “ kemudian rosul bersabda kepada Tsabit bin Qois “ terima
kembali kebunmu dan ceraikanlah dia )
TIDAK MENGAJUKAN KHULU’
KECUALI ADA SEBAB SYAR’I
Imam Ibnu Qudamah
menyebutkan, “ apabila seorang wanita mendapatkan hal-hal yang ia benci dari
suaminya karena buruk fisiknya atau buruk akhlaknya, buruk agamanya atau
suaminya telah tua dan lemah dan ia khawatir tidak bisa memenuhi kewajiban
ta’at kepada Alloh maka wanita tersebut boleh mengajukan khulu’ “[2]
hal ini senada dengan kasus istri Tsabit bin Qois diatas yang mana ia meminta
kepada rosul untuk menceraikan dirinya dengan Tsabit lantaran ia tidak tahan
dengan fisik Tsabit bin Qois. Namun demikian tidak sepantasnya bagi seorang
istri yang baik untuk memudahkan mengajukan khulu’ karena rosul sholallohu
‘alaihi wasalam menyampaikan :
أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غير بأس , فحرام عليها رائحة الجنة
“ Wanita mana saja yang
meminta cerai kepada suaminya tanpa adanya dosa ( dari pihak suami –pent ) maka
diharamkan baginya aroma surga “ ( HR. Khomsah kecuali Nasa’I )
Maka khulu’ hendaklah
dilandaskan adanya madhorot yang dialami bukan karena hawa nafsu, khulu’ juga
tidak boleh karena paksaan dari orang lain bahkan dari orang tua si istri
sekalipun karena istri mempunyai kewajiban taat kepada suami bukan kepada orang
tua setelah ia mempunyai suami[3],
sehingga dalam prakteknya khulu’ akan berimbas pada tiga konskwensi hukum :
Pertama : mubah ( diperbolehkan
)
Hal ini jka si istri
sudah tidak tahan lagi dengan suami karena kebencianya kepada suami sehingga ia
khawatir tidak mampu menunaikan hak suaminya, dan tidak bisa melaksanakan
kewajiban ta’at kepada suami.
Kedua : haram
Jika si istri meminta
khulu’ tanpa adanya sebab yang jelas[4]
atau dalam kasus diatas karena permintaan orang tua atau kerabat, khulu’ juga
diharamkan jika suami menganiaya istri supaya istri mengajukan khulu’ sehingga
suami bisa mendapatkan tebusan dari pihak istri.
Ketiga : mustahab (
sunnah )
Khulu’ dianjurkan jika
suami tidak memenuhi hak-hak Alloh, bahkan khulu’ hukumnya wajib jika suami
dengan sengaja meninggalkan sholat, melaksanakan dosa-dosa besar atau
memerintahkan kepada istri untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.[5]
BEBERAPA HUKUM YANG
PERLU DIPERHATIKAN
- Hendaklah suami mempermudah khulu’ dan tidak mengambil tebusan melebihi mahar yang diberikan
- Istri tidak meminta khulu’ kecuali adanya alas an syar’I
- Jika khulu’ terjadi dengan kalimat khulu’ maka wanita yang melakukanya menjalani masa iddah ( menunggu ) selama satu kali haid namun jika khulu’ terjadi dengan kalimat talak maka menurut jumhur ulama’, wanita tersebut harus menjalani masa iddah selama tiga kali suci.
- Suami yang dikhulu’ tidak boleh kembali kepada istrinya ( ruju’ ) pada masa iddah
- Seorang ayah boleh mewakili putrinya yang belum dewasa dalam hal khulu’ jika si ayah melihat adanya madhorot bagi putrinya.
- Suami tidak boleh sengaja menganiaya istri agar ia minta khulu’, kalau hal itu terjadi maka suami tidak berhak mengambil kembali mahar pemberianya kepada istrinya.[6]
- Seyogyanya hakim tidak memutuskan khulu’ tanpa persetujuan suami[7]
Demikianlah sekilas
tentang hukum yang berkaitan dengan khulu’, mudah-mudahan kita senantiasa
dianugrahi keluarga yang sakinah mawadah warohmah bahkan sampai ke jannah.
Amien.
[1] fiqh Islam wa adilatuhu Dr. Wahbah Zuhaili
juz 7 hal.480
[2]
Al-mugni wasyarhul kabir Ibnu Qudamah juz 10 hal. 5
[3]
Majmu’ fatawa juz 33 hal. 112 ( dinukil dalam kitab fiqh sunnah linnisa’
hal.568 )
[4]
Fathul bari juz 10 hal. 10
[5]
Shohih fiqh sunnah juz 3 hal. 305-306
[6]
Minhajul muslim hal. 356
[7]
Shohih fiqh sunnah juz 3 hal. 318
Tidak ada komentar:
Posting Komentar